Hari raya idul fitri

Hari raya idul fitri

Beranda

Jumat, 12 Agustus 2011

Hadist Zakat

A. Pendahuluan
Allah Swt. Berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 267:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Ayat di atas menegaskan bahwa hasil yang diperoleh seorang Mukmin dan yang diperintahkan untuk dinafkahkan sebagian darinya dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu hasil usaha kamu yang baik-baik dan Apa yang Kami keluarkan untuk kamu dari bumi yakni hasil pertanian, dan pertambangan. Adapun yang dimaksud dengan hasil usaha kamu yang baik-baik, maka para ulama dahulu membatasinya dalam hal-hal tertentu yang pernah ada masa Rasul SAW dan yang ditetapkan oleh beliau sebagai yang harus dizakati, seperti perdagangan, dan inilah dahulu yang dimaksud dengan zakat penghasilan, selebihnya dari usaha manusia.
Jika belum dikenal pada masa Nabi dan sahabat beliau, maka menurut ulama masa lalu, tidak termasuk yang harus dizakati, dan dengan demikian tidak dimaksud oleh ayat diatas dengan hasil usaha kamu yang baik. Namun demikian, kini telah muncul berbagai jenis usaha manusia yang menghasilkan pemasukan, baik usahanya secara langsung tanpa keterikatan dengan orang/pihak lain seperti para dokter, konsultan, seniman, dan lain-lain, atau dengan keterikatan, baik dengan pemerintah atau swasta, seperti gaji, upah dan honorarium. Rasa keadilan, serta hikmah adanya kewajiban zakat, mengantar banyak ulama masa kini memasukkan profesi-profesi tersebut dalam pengertian "hasil usaha kamu yang baik-baik" .
Pembicaraan mengenai zakat profesi muncul karena kewajiban yang satu ini merupakan hasil ijtihad para ulama sekarang, yang tentunya tidak terdapat ketentuan yang jelas dalam al-Quran, hadis maupun dalam figh yang telah disusun oleh ulama-ulama terdahulu, sehingga perlu ditelusuri lebih lanjut.
Pekerjaan yang menghasilkan uang pada masa sekarang dapat digolongkan menjadi dua macam:
a. Pekerjaan yang dilakukan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak, penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan professional, seperti, penghasilan seorang dokter, insinyur, advokat, seniman, penjahit dan lain-lain.
b. Pekerjaan seorang yang dilakukan seseorang buat pihak lain, baik pemerintah, perusahaan maupun perorangan dengan memperoleh upah, penghasilan dari pekerjaan ini seperti berupa gaji, upah ataupun honorarium.
B. Pengertian zakat profesi
Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan kepada penghasilan para pekerja karena profesinya. Akan tetapi, pekerja profesi mempunyai pengertian yang luas, karena semua orang bekerja dengan kemampuannya, yang dengan kata lain mereka bekerja karena profesinya.
Di dalam kamus bahasa Indonesia, disebutkan bahwa: profesi adalah bidang pekerjaaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejujuran dan sebaginya) tertentu. Professional adalah yang bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khususuntuk menjalankannya.
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara mudah, melalui suatu keahlian tertentu. Zakat Profesi (Penghasilan) adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi seseorang, baik dokter, aristek, notaris, ulama/da'i, karyawan guru dan lain-lain.
Dari definisi diatas ada point-point yang perlu digaris bawahi berkaitan dengan profesi yang dimaksud, yaitu: 1. Jenis usahanya halal; 2. Menghasilkan uang relative banyak; 3. Diperoleh dengan cara yang mudah; 4. Melalui suatu keahlian tertentu. Dari kriteria tersebut dapat diuraikan jenis-jenis usaha yang berhubungan dengan profesi seseorang.
Apabila ditinjau dari bentuknya, usaha profesi tersebut bisa berupa: a. Usaha fisik, seperti pegawai dan artis. b. Usaha pikiran, seperti konsultan, desainer dan dokter. c. Usaha kedudukan, seperti komisi dan tunjangan jabatan. d. Usaha modal, seperti investasi.
Sedangkan apabila ditinjau dari hasil usahanya profesi bisa berupa: 1. Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari; seperti upah pekerja dan gaji pegawai. 2. Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti; seperti kontraktor, pengacara, royalty pengarang, konsultan dan artis.
C. Nisab / Kadar Zakat Profesi
Agama Islam tidak mewajbkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan zakat atas harta benda yang mencapai nisab, hal ini untuk menentukan siapa yang wajib zakat, karena zakat hanya dipungut dari orang-orang kaya. Dan hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 219 yang artinya, "mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan, katakanlah, "yang lebih dari keperluan."
Dengan demikian, penghasilan yang mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapainya tidak wajib. Alasan ini dibenarkan, karena membebaskan orang-orang yang mempunyai gaji kecil dari kewajiban zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya atas pegawai-pegawai tinggi, sehingga dengan adanya batasan ini, telah mendekati pada kesamaan dan keadilan.
Ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishab dan kadar zakat profesi, yaitu:
1. Menganalogikan zakat profesi kepada hasil pertanian, baik nishab maupun kadar zakatnya. Dengan demikian nishab zakat profesi adalah 653 kg gabah/ 520 kg beras dan kadarnya 5 % dan dikeluarkan setiap menerima tidak perlu menunggu batas waktu setahun.
2. Menganalogikan dengan zakat perdagangan atau emas. Nishabnya 85 gram emas, dan kadarnya 2,5% penghitungannya diakumulasikan dan dibayar di akhir tahun.
3. Menganalogikan nishab zakat penghasilan dengan hasil pertanian. Nishabnya senilai 653 kg gabah/520 kg beras, sedangkan kadarnya dianalogikan dengan emas yaitu 2,5 %. Hal tersebut berdasarkan qiyas atas kemiripan (syabbah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni:
a. Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan panen (hasil pertanian).
b. Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang. Oleh sebab itu bentuk harta ini dapat diqiyaskan dalam zakat harta (simpanan/kekayaan) berdasarkan harta zakat yang harus dibayarkan (2,5 %).
Pendapat ketiga inilah yang dinilai relevan berdasarkan pertimbangan maslahah bagi muzaki (orang yang berzakat) dan mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Mashlahah bagi muzaki adalah apabila dianalogikan dengan pertanian, baik nishab dan kadarnya. Namun, hal ini akan memberatkan muzaki karena tarifnya adalah 5 %. Sementara itu, jika dianalogikan dengan emas, hal ini akan memberatkan mustahik karena tingginya nishab akan semakin mengurangi jumlah orang yang sampai nishab. Oleh sebab itu, pendapat ketiga adalah pendapat pertengahan yang memperhatikan mashlahah kedua belah pihak (muzaki dan mustahik). Dan nisab 2,5% ini pernah dipraktekan oleh ibnu Mas'ud, Khalifah Mu'awiyah, dan Umar bin Abdul Aziz.
D. Landasan Syar'i Zakat profesi
1. Al-Quran
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (QS. Azzariyaat (51): 19)
"…Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya …" (QS. Al Hadid (57): 7)
Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, …" (QS. Al Baqarah (2): 267)
Ayat diatas menunjukan lafadz atau kata yang masih umum; dari hasil usaha apa saja, "infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik." Dan dalam ilmu fiqh terdapat kaidah "Al 'ibrotu bi Umumi lafdzi laa bi khususi sabab", "bahwa ibroh (pengambilan makna) itu dari keumuman katanya bukan dengan kekhususan sebab."
Dan tidak ada satupun ayat atau keterangan lain yang memalingkan makna keumuman hasil usaha tadi, oleh sebab itu profesi atau penghasilan termasuk dalam kategori ayat diatas.
2. Pendapat Sahabat dan Tabi'in tentang harta penghasilan
Para ulama salaf memberikan istilah bagi harta pendapatan rutin /gaji seseorang dengan nama "A'thoyat", sedangkan untuk profesi adalah "Al Maal Mustafad", sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat, diantaranya Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah dan Umar bin Abdul Aziz.
Abu 'Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya." Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memberi upah kepada pekerjanya dan mengambil zakatnya.
3. Dalil Logika
Seorang petani yang mempunyai penghasilan dari hasil panennya, harus mengeluarkan zakat 5 atau 10% dari yang dia hasilkan setelah bersusah payah menanam dan memelihara sawahnya selama (minimal) 3 bulan lamanya. Jika dibandingkan dengan profesi seorang dokter atau yang lainnya, maka lebih besar hasil seorang yang berprofesi dibandingkan seorang petani, alangkah tidak adilnya Islam jika tidak mewajibkan zakat kepada mereka yang berprofesi.
E. Waktu Kewajiban Mengeluarkan Zakat
Waktu mengeluarkan zakat profesi terkait erat dengan pilihan yang diambil muzakki terhadap model Nisab dan kadar zakat profesi (seperti pada poin C). Jika memilih model nomor satu, zakat tunaikan ketika gaji/upah diterima. Jika memilih model nomor 2, zakat ditunaikan setahun sekali, yakni ketika mencapai haul (genap setahun). Jika memilih model nomor tiga, zakat ditunaikan saat gaji/upah diterima.

F. Pengeluran Zakat Profesi dan gaji bersih
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam kitab Fiqhuz Zakat, menyebutkan “dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam penentuan penghitungannya. Apakah yang zakat itu berdasarkan pemasukan kotor (bruto) atau berdasarkan pemasukan bersih setelah dipotong dengan pengeluaran pokok (netto). Beliau sendiri menerima kedua pendapat itu dengan membedakan bila seseorang punya pendapatan lumayan besar, sebaiknya mengeluarkan zakat berdasarkan pendapatan kotor. Sedangkan bila seseorang memang termasuk kecil pemasukannya dan banyak tanggungan wajibnya, maka dia mengeluarkan zakat berdasarkan penghasilan bersihnya saja. Cara yang pertama (bruto), begitu menerima penghasilan/gaji (setelah potong pajak) pemilik harta/muzakki tersebut segera menentukan zakatnya tanpa menguranginya dengan kebutuhan pokok minimum. Istilah bruto disini kaitannya dengan kebutuhan pokok hidup sedangkan kalau dari segi pajak dikategorikan Netto, karena pajak merupakan kewajiban warga Negara terhadap negara. Cara yang kedua (Netto), pemilik harta/muzakki terlebih dahulu mengurangi penghasilan yang mereka terima dengan kebutuhan pokok minimum pemilik harta tersebut.
G. Zakat Bonus dan Hadiah
Tidak ada nash yang secara sharih menerangkan tentang zakat bonus atau hadiah. karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan zakat hadiah ini. Ada yang mengatakan bahwa zakat hadiah atau bonus tidak ada tetapi sebagian yang lain mengatakan ada. Yang mengatakan ada meng-qiyaskan pada jenis zakat lain.
Jika bonus atau hadiah tersebut terkait dengan pekerjaannya, maka besarannya disamakan dg zakat profesi yaitu 2,5 %. Jika berbentuk hibah maka disetarakan dengan rikaz zakatnya 20%. Jika hadiah tersebut ada usaha jerih payah untuk menghasilkannya baik berupa tenaga ataupun pikiran seperti kuis yang mengandalkan pengetahuan, maka zakatnya 2,5% jika tidak ada usaha sama sekali sehingga mirip dengan rikaz maka zakatnya 20% jika ada usaha tetapi minim maka zakatnya antara 5% – 10 %. Demikian pendapat sebagian ulama yang didasarkan pada qiyas. Sementara kalau ada menanyakan hadisnya, maka tidak ada hadis yang menyebutkan hal tersebut.

sumber:http://thkamus.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar